Beberapa saat yang lalu, saya sempat berbincang – bincang dengan pasien DM tipe 1, saat ini dia berusia 12 tahun. Seorang anak yang pintar, dia bisa bercerita tentang perjalanan hingga didiagnosa penyakitnya dan pengobatan apa saja yang saat ini rutin dilakukan, yaitu suntik insulin kerja panjang 1x per hari dan suntin insulin kerja cepat 3x sehari sebelum makan. Dia terbiasa untuk melakukan pemeriksaan gula darahnya sendiri. Dia bercerita, penyakitnya itu diketahui saat dia berusia 5 tahun, saat tiba – tiba pingsan dan akhirnya koma serta dirawat di ICU selama 1 minggu. Sejak usia 5 tahun itu juga hingga saat ini, dia rutin suntik sendiri insulin. Karena itu, pada kesempatan ini, saya coba uraikan mengenai Diabetes Mellitus tipe 1 yang saya rangkum dari http://www.medscape.com.
Diabetes mellitus tipe 1
adalah penyakit kronik yang timbul karena ketidakmampuan tubuh untuk
memproduksi insulin. Hal ini disebabkan autoimmune
destruction atau proses kerusakan oleh sebab autoimmune dari sel beta
pancreas. DM tipe 1 paling sering muncul saat usia anak – anak, tetapi,
penyakit ini juga dapat ditemukan pertama kali saat usia akhir 30 an dan awal
usia 40 an.
Tanda dan gejala :
Gejala klasik dari DM tipe 1 adalah :
1. Poliuria : sering kencing
2. Polidipsia : sering merasa haus
3. Polifagia : sering merasa lapar
4. Penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan
Gejala lainnya meliputi rasa lelah, mual
dan pandangan kabur. Timbulnya gejala ini dapat secara tiba – tiba . DM tipe 1
juga sering didapatkan dalam keadaan sudah timbul komplikasi yang disebut KAD /
Keto Asidosis Diabetik, jadi pasien didapatkan dalam keadaan tidak sadar atau
mungkin juga koma.
Diagnosis
Kriteria diagnosis dari ADA (American Diabetes
Association) :
1. Gula puasa : ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L)
2.
Gula 2 jam puasa : ≥200 mg/dL (11.1 mmol/L) dengan tes
toleransi glukosa menggunakan
75 gram glukosa dalam 15
menit
3. Glukosa darah acak : ≥200 mg/dL (11.1 mmol/L) pada pasien dengan
gejala klasik diabetes
Hiperglikemia atau hiperglikemia krisis.
Tes
Glukosa darah acak melalui penusukan jari, dapat digunakan pada semua penderita
diabetes, tetapi, tes ini harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan darah melalui
serum atau plasma untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan laboratorium yang lain
juga harus dilakukan dengan menyesuaikan kondisi dari pasien. Pemeriksaan HbA1c
biasanya juga dilakukan pada pasien yang dicurigai, tetapi tidak menunjukkan
gejala klasik diabetes.
Screening
Screening untuk
mengetahui diabetes tipe 1 pada pasien yang tidak menunjukkan gejala atau pada
individu yang beresiko rendah tidak disarankan. Tetapi, pada pasien dengan
resiko tinggi (mereka – mereka yang mempunyai orang tua dengan DM tipe 1) dapat
dilakukan, untuk mendeteksi adanya anti –
islet antibodies, dan pemeriksaan ini dilakukan sebelum usia 10 tahun dan
diulang lagi ketika menginjak usia dewasa.
Managemen
Kontrol
Glukosa
Rekomendasi
ADA, menggunakan usia pasien sebagai pertimbangan untuk mencapai target control
glukosa, dengan target yang berbeda untuk preprandial (sebelum makan), wakti
tidur malam dan kadar hemoglobin A1c (HbA1c)
pada pasien dengan usia 0 - 6, 6 - 12, dan 13 - 19 tahun. Manfaat dari kontrol
gula darah yang baik meliputi pengurangan
resiko komplikasi mikrovaskular maupun makrovaskular yang meliputi
serangan jantung dan kematian.
Monitor gula mandiri
Kontrol yang optimal
terhadap diabetes, memerlukan monitoring yang sering dari kadar gula darah,
yang mana memungkinkan penyesuaian yang rasional dari kadar insulin. Semua
pasien dengan diabetes tipe 1, harus belajar untuk memeriksa kadar gula darahnya
sendiri dan mencatatnya secara teratur.
Monitoring terus menerus
dari kadar gula dengan menggunakan continuous glucose monitors (CGMs) dapat
membantu pasien untuk meningkatkan control yang baik dari kadar gulanya. Pada CGMs
, terdapat sensor subcutaneous yang mengukur gula setiap 1 – 5 menit dan
meyediakan alarm yang memberi tanda bila kadar gula terlalu tinggi, terlalu
rendah, atau meningkat dan menurun secara cepat.
Pada pasien dengan
diabetes tipe 1, memerlukan terapi insulin seumur hidupnya. Pada umumnya
memerlukan 2 atau lebih suntikan insulin setiap harinya dengan dosis yang
disesuaikan berdasarkan kadar gula darahnya. Insulin terapi ini berupa insulin
basal dan insulin preprandial (sebelum makan). Kadar insulin basal dapat berupa
insulin kerja panjang (glargine atau detemir) atau insulin kerja menengah (NPH).
Insulin preprandial (sebelum makan) meliputi insulin kerja cepat (lispro,
aspart, insulin inhaled, atau glulisine) atau insulin kerja pendek short-acting
(regular).
Peresepan insulin yang
umum meliputi :
1. NPH dengan insulin kerja cepat atau insulin kerja pendek sebelum
sarapan dan makan malam
2. NPH dengan insulin kerja cepat atau insulin kerja pendek sebelum
sarapan, insulin kerja cepat atau insulin kerja pendek sebelum makan malam dan
NPH sebelum tidur malam (kombinasi seperti ini bertujuan untuk mengurangi
glukosa saat puasa yang diberikan saat malam)
3. Insulin kerja panjang 1x sehari saat pagi atau malam (atau 2x
sehari pada 20 % pasien) dan insulin kerja cepat sebelum makan atau snack
(dengan dosis yang disesuaikan berdasarkan asupan karbohidrat dan kadar glukosa
darah.
4.
Continuous subcutaneous
insulin infusion (CSII), berupa insulin kerja cepat yang diinfuskan secara
terus menerus dalam 24 jam sehari melalui pompa insulin dengan tambahan insulin
bolus yang diberikan sebelum makan dan dosis koreksi dapat diberikan bila kadar
glukosa darah melebihi dari target
Diet dan aktivitas
Semua
pasien yang menggunakan insulin harus mempunyai rencana diet yang baik yang
dapat dibantu oleh ahli nutrisi. Hal yang harus diperhatikan :
1.
Jumlah
asupan kalori per hari
2.
Jumlah
asupan karbohidrat, lemak dan protein
3.
Cara
membagi asupan kalori antara makan dan snack.
Olah raga juga mempunyai
peranan yang sangat penting dalam managemen pasien diabetes. Pasien harus
berolah raga secara rutin.
Latar Belakang
Diabetes Mellitus tipe 1
merupakan penyakit multi system yang melibatkan biokimia dan konsekuensi anatomis
/ struktur tubuh. Merupakan penyakit kronis yang mempengaruhi metabolism
karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan karena berkurangnya insulin. Hal
ini merupakan akibat lanjut dari gagalnya pancreas dalam memproduksi insulin
yang dikarenakan perusakan dari sel beta pancreas.
DM tipe 1 dapat terjadi pada semua usia,
meskipun angka kejadian yang umum adalah pada usia anak – anak. DM tipe 1 ini
juga dapat muncul pada usia dewasa, khususnya pada akhir usia 30 an dan awal
usia 40 an.
Tidak seperti DM tipe 2, pasien dengan DM
tipe 1, tidak gemuk dan biasanya diketahui bersamaan dengan terjadinya
komplikasi KAD / Keto Asidosis Diabetic (pasien tidak sadar - koma). Hal yang
khusus pada DM tipe 1 adalah, bila insulin menurun, ketosis akan terjadi dan pada
akhirnya akan timbul Keto Asisdosis. Karena itu, pasien dengan DM tipe 1
bergantung pada insulin dari luar.
DM tipe 1 memerlukan insulin seumur hidupnya. Pendekatan
multidisiplin oleh dokter, perawat, ahli gizi dengan konsultasi rutin dengan
dokter spesialis sangatlah diperlukan untuk dapat mengontrol kadar gulanya,
yang pada akhirnya dapat mencegah terjadinya komplikasi berbahaya yang dapat
terjadi.
Patofisiologi
DM
tipe 1 adalah puncak dari infiltrasi limfosit dan perusakan beta sel pancreas
yang memproduksi insulin. Saat masa sel beta pancreas menurun, penurunan
insulin berkurang juga sampai suatu titik di mana tidak terdapat lagi insulin
yang cukup untuk mempertahankan kadar gula darah yang normal. Setelah 80 – 90 %
sel beta pancreas rusak, hiperglikemia akan timbul dan diagnose diabetes dapat
ditegakkan. Pasien memerlukan insulin dari luar untuk memperbaiki kondisi ini,
mencegah ketosis dan menurunkan hiperglucagonemia serta menormalkan metobolisme
lemak dan protein.
Saat ini, proses autoimmune dianggap sebagai
factor utama pada patofisiologi dari DM tipe 1. Pada individu yang secara
genetic rentan, adanya infeksi virus dapat menstimulasi produksi dari antibody
untuk melawan protein dari virus dan antibiodi ini juga dapat memicu respon
autoimmune terhadap antigen yang mirip dengan molekul sel beta (Sel beta
pancreas adalah sel yang memproduksi insulin)
Sekitar 85 % pasien dengan DM tipe 1 memiliki
antibody terhadap sel islet di dalam darahnya dan secara umum juga dapat
dideteksi anti-insulin antibody sebelum mendapat terapi insulin. Antibodi
terhadap sel islet yang paling banyak ditemukan adalah antibody terhadap
Glutamic Acid Decarboxylase (GAD), suatu enzyme yang ditemukan di dalam sel
beta pancreas.
Prevalensi dari DM tipe 1 meningkat pada
pasien dengan penyakit autoimmune lainnya, seperti Graves disease, Hashimoto
thyroiditis dan Addison disease. Pilia dan rekan menemukan prevalensi yang
tinggi dari antibody terhadap sel islet (IA2) dan antibody terhadap GAD pada
pasien dengan autoimmune thyroiditis.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Philippe
menggunakan CT – scan, Glucagon stimulation test results dan Fecal elastase – 1
measurement mendapatkan berkurangnya volume pancreas pada pasien dengan DM.
Penemuan ini didapatkan baik pada DM tipe 1 maupun DM tipe 2, serta dapat juga
menjelaskan disfungsi dari kelenjar exocrine yang terjadi pada pasien DM.
Polymorphisme dari Human Leukocyte Antigen
(HLA) class II gen yang mengkode DR dan DQ adalah determinan genetic utama dari
DM tipe 1. Sekitar 95 % pasien dengan DM tipe 1 mempunyai HLA – DR 3 atau HLA
DR4. Heterozygote dari haplotype mempunyai resiko terkena DM lebih tinggi dari
homozygote. HLA – DQ juga dipertimbangkan sebagai penanda yang spesifik terhadap
kerentanan pasien untuk terkena DM tipe 1. Sebaliknya, beberapa haplotype (contoh
HLA – DR2) memberikan perlindungan yang kuat terhadap DM tipe 1.
Neuropathy
sensorik dan autonomic
Neuropathy sensorik dan autonomic pada pasien
dengan diabetes, disebabkan oleh degenerasi axon dan segmental demyelination.
Banyak factor terlibat, termasuk akumulasi dari sorbitol pada sensorik saraf
tepi akibat dari hiperglikemia. Motor
neuropathy dan cranial mononeuropathy dapat terjadi sebagai akibat gangguan
pembuluh darah yang menyuplai saraf.
Angiopathy (Komplikasi pada
pembuluh darah)
Dengan menggunakan video capillaroscopy,
Barchetta dan rekan mendeteksi adanya prevalensi yang tinggi untuk terjadi
perubahan pada pembuluh darah kapiler pasien diabete, khususnya pada pasien
dengan kerusakan retina. Hal ini mencerminkan perubahan pada pembuluh darah
kecil yang terjadi baik pada DM tipe 1 maupun DM tipe 2.
Perubahan pada pembuluh darah mikro
memnyebabkan sejumlah komplikasi pada penderita diabetes. Hyaline arteriosclerosis,
yang ditandai dengan penebalan dinding dan arteriole kecil dan kapiler, terjadi
secara luas dan bertanggung jawab pada perubahan iskemia (perburukan sirkulasi
darah) di ginjal, retina, otak dan saraf tepi.
Atherosclerosis pada arteri utama ginjal dan
cabang intrarenal / pembuluh darah di dalam ginjal, menyebabkan Chronic Nephron
Ishcemia, yang secara signifikan menyebabkan kerusakan pada ginjal.
Defisiensi dari Vitamin D merupakan factor predictor
independent terhadap pembentukan kalsifikasi di arteri coroner pada pasien
dengan DM tipe 1. Joergensen dan rekan berkeyakinan bahwa adanya kekurangan
vitamin D pada DM tipe 1 dapat memprediksi semua penyebab kematian tetapi tidak
terhadap perkembangan komplikasi microvaskular.
Nephropathy (komplikasi pada
ginjal)
Pada ginjal, penebalan dari dinding arteri kecil dan kapiler, menyebabkan
terjadinya diabetic nephropathy yang ditandai dengan adanya proterinuria (ada
protein di dalam urine – kencing berbuih), glomerular hyalinization
(Kimmelstiel – Wilson) dan gagal ginjal kronis.
Ekspresi dari sitokin seperti tumor
growth factor beta 1 adalah bagian dari patofisiologi terjadinya glomerulosklerosis,
yang mengawali terjadinya nefropati diabetik.
Faktor genetik mempengaruhi perkembangan nefropati diabetik. Polimorfisme
nukleotida tunggal yang mempengaruhi faktor-faktor yang terlibat dalam
patogenesis sepertinya mempengaruhi risiko nefropati diabetes pada orang yang
berbeda dengan tipe 1 DM.
Double Diabetes
Pada
daerah dengan angka kejadian DM tipe 2 dan angka kegemukan yang tinggi,
individu dengan DM tipe 1 dapat berbagi factor genetic dan factor lingkungan
yang dapat menimbulkan gejala dari DM tipe 2 seperti berkurangnya sensitifitas terhadap
insulin. Hal ini dikenal dengan double diabetes.
Pada
penelitian yang melibatkan 207 pasien dengan DM tipe 1, Epstein dan rekan
menggunakan estimated glucose disposal rate (eGDR) untuk menilai insulin
resisten dan menemukan bahwa eGDR secara signifikan didapatkan cukup rendah (hal
ini berarti, resistensi terhadap insulin yang tinggi) pada pasien berkulit
hitam (5.66 mg/kg/min) dibandingkan dengan pasien ras Hispanis (6.70 mg/kg/min)
atau pada pasien kulit putih (7.20 mg/kg/min). Sebagai kesimpulam, rendahnya
eGDR dikaitkan dengan peningkatan resiko komplikasi vascular / pembuluh darah
pada pasien dengan diabetes (contoh penyakit cardiovascular, diabetic
retinopathy atau gagal ginjal kronis yang parah)
Penyebab
DM
Tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel beta pancreas melalui proses autoimmune dan
melibatkan baik factor genetic maupun factor lingkungan
Faktor Genetik
Meskipun aspek genetic dari DM tipe 1
itu kompleks, dengan banyaknya gen yang terlibat, ada resiko yang cukup tinggi
pada saudara kandung. Pada kembar 2 telur / dizygotic, memiliki angka kejadian
5 – 6 % untuk terkena DM tipe 1, kembar 1 telur / monozygotic memiliki angka
kejadian hingga lebih dari 50 % untuk terkena DM tipe 1 saat usia 40 tahun.
Untuk anak yang memiliki orang tua
dengan DM tipe 1, risiko terkena DM tipe 1, bervariasi, tergantung ayah atau
ibunya yang memiliki DM tipe 1. Anak-anak yang ibunya terkena tipe 1 DM
memiliki risiko 2-3% terserang penyakit itu, sedangkan mereka yang ayahnya memiliki
penyakit DM tipe 1, memiliki risiko 5-6%. Ketika kedua orang tua penderita menderita
DM tipe 1, risiko anak untuk terkena meningkat hampir 30%. Selain itu, risiko
untuk anak-anak dari orang tua dengan DM tipe 1 adalah sedikit lebih tinggi
jika timbulnya penyakit pada orang tuanya terjadi sebelum usia 11 tahun dan
sedikit lebih rendah jika onset terjadi setelah usia 11 tahun orang tuanya.
Kontribusi genetik untuk DM tipe 1 ini juga
tercermin dalam varian yang signifikan dalam frekuensi penyakit di antara
populasi etnis yang berbeda. DM tipe 1 paling umum terjadi pada populasi Eropa,
dengan orang-orang dari Eropa utara lebih sering terkena daripada orang-orang
dari daerah Mediterania. Penyakit ini juga lazim didapatkan di Asia Timur.
Studi pengelompokan genome telah
mengidentifikasi beberapa lokus yang berkaitan dengan DM tipe 1, tetapi hanya
sedikit hubungan sebab akibat yang telah ditetapkan. Wilayah genomik yang
paling kuat sangat terkait dengan penyakit autoimun lainnya, kompleks
histocompatibility utama (MHC), adalah lokasi beberapa kerentanan lokus untuk
tipe 1 DM-khususnya, kelas II HLA DR dan haplotype DQ.
Sebuah hirarki haplotipe
DR-DQ dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk DM tipe 1 telah ditetapkan. Haplotipe
yang paling rentan adalah sebagai berikut
·
DRB1*0301 - DQA1*0501 -
DQB1*0201 (odds ratio [OR] 3.64)
·
DRB1*0405 - DQA1*0301 -
DQB1*0302 (OR 11.37)
·
DRB1*0401 - DQA1*0301 -
DQB*0302 (OR 8.39)
·
DRB1*0402 - DQA1*0301 -
DQB1*0302 (OR 3.63)
·
DRB1*0404 - DQA1*0301 -
DQB1*0302 (OR 1.59)
·
DRB1*0801 - DQB1*0401 -
DQB1*0402 (OR 1.25)
·
Haplotype lain ternyata
memberikan perlindungan terhadap DM tipe 1, sebagai berikut :
·
DRB1*1501 - DQA1*0102 -
DQB1*0602 (OR 0.03)
·
DRB1*1401 - DQA1*0101 -
DQB1*0503 (OR 0.02)
·
DRB1*0701 - DQA1*0201 -
DQB1*0303 (OR 0.02)
90 – 95 % pada anak
dengan DM tipe 1 membawa HLA-DR3 DQB1*0201, HLA-DR4 DQB1*0302, atau keduanya. Pembawa
kedua haplotypes (ie, DR3/4 heterozygotes) mempunyai kerentanan yang tinggi
untuk terkena DM tipe 1.
Resiko tinggi haplotypes
banyak ditemukan pada orang keturunan Eropa. Pada orang dari ras African
Americans, DRB1*07:01 - DQA1*03:01 -DQB1*02:01g haplotype terkait dengan
tingginya resiko untuk terkena, sedangkan DRB1*07:01-DQA1*02:01 - DQB1*02:01g
haplotype tampaknya melindungi.
Gen lain yang dilaporkan
terlibat dalam mekanisme terjadinya DM tipe 1 adalah CTLA4 (penting
untuk aktivasi T-cell), PTPN22 (memproduksi LYP, suatu negative
regulator dari T-cell kinase signaling), dan IL2RA (mengkode CD25 yang
mana terlibat dalam regulasi fungsi T-cell). UBASH3A (juga
dikenal dengan STS2), mungkin terlibat pada peningkatan resiko, bukan
hanya pada DM tipe 1, tetapi juga penyakit autoimmune lainnya dan down
syndrome, ada pada locus chromosome 21q22.3.
Sebagai tambahan,
penelitian terhadap genome mempengaruhi penelitian terhadap gen lainnya, seperti:
·
SH2B3
·
ERBB3
·
CLEC16A
·
IL18RAP
·
PTPN2
·
CCR5
Faktor Lingkungan
Faktor luar juga
berkontribusi terhadap timbulnya DM tipe 1. Pemicu potensial yang secara
immunologis memperantarai rusaknya sel beta meliputi virus (contoh enterovirus,
mumps, rubella, dan coxsackievirus B4), bahan kimia beracun, paparan dengan
susu sapi saat masih bayi, dan sitotoksin.
Kombinasi dari beberapa factor
dapat terjadi. Lempainen dan rekan menemukan bahwa adanya infeksi enterovirus
saat usia 12 bulan, dikaitkan dengan munculnya DM tipe 1 – terkait autoimmune di
antara anak – anak yang terpapar dengan susu sapi sebelum usia 3 bulan. Hasil
ini menunjukkan interaksi antara 2 faktor dan memberikan penjelasan yang
mungkin untuk temuan yang kontradiktif yang diperoleh dalam penelitian yang
meneliti faktor-faktor ini secara terpisah.
Satu meta-analisis
menemukan peningkatan linear lemah tapi signifikan pada risiko terjadinya DM tipe
1 dengan meningkatnya usia ibu saat kehamilan. Namun, sedikit bukti yang mendukung
peningkatan substansial terhadap risiko DM tipe 1 saat anak – anak setelah terjadi
komplikasi kehamilan yang dikenal sebagai preeklamsia.
Sebuah studi oleh
Simpson et al menemukan bahwa asupan vitamin D maupun 25-hydroxyvitamin D selama
masa anak – anak, dikaitkan dengan autoimunitas terhadap sel islet yang dapat
berkembang menjadi DM tipe 1. Penelitian ini dilakukan di Denver, Colorado, dan
telah mendapati anak - anak mengalami peningkatan risiko diabetes sejak tahun
1993.
Infeksi saluran pernapasan
atas saat bayi juga dapat menjadi faktor risiko untuk diabetes tipe 1. Dalam
analisis data terhadap 148 anak - anak yang secara genetik beresiko untuk
diabetes, infeksi saluran pernapasan atas pada tahun pertama kehidupan
dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 1. Semua anak dalam studi
yang mengembangkan autoimunitas terhadap sel islet, mengalami minimal 2 infeksi
saluran pernapasan atas pada tahun pertama kehidupan dan setidaknya 1 infeksi
dalam 6 bulan sebelum terjadi serokonversi menjadi autoantibodi.
Anak-anak dengan infeksi
pernapasan dalam 6 bulan pertama kehidupan memiliki peningkatan rasio bahaya
terbesar untuk terjadi serokonversi autoantibodi sel islet, dan risiko juga
meningkat pada orang-orang dengan infeksi saluran pernafasan pada usia 6 sampai
hampir 12 bulan. Tingkat serokonversi autoantibody sel islet adalah tertinggi
di antara anak-anak dengan lebih dari 5 kali infeksi pernafasan pada tahun
pertama kehidupan. Infeksi pernafasan pada tahun kedua kehidupan tidak
berhubungan dengan peningkatan risiko.
Epidemiology
Statistik di Amerika Serikat
Sebuah laporan 2011 dari Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) memperkirakan bahwa sekitar 1 juta
orang Amerika memiliki tipe 1 DM. CDC memperkirakan bahwa setiap tahun 2002 - 2005,
DM tipe 1 yang baru didiagnosa mencapai 15.600 anak muda . Di antara anak-anak yang
berusia kurang dari 10 tahun, tingkat terjadinya kasus baru adalah 19,7 per
100.000 penduduk; di antara mereka 10 tahun atau lebih tua, tingkat kejadiannya
adalah 18,6 per 100.000 penduduk.
DM tipe 1 adalah penyakit metabolik yang paling umum pada masa
kanak-kanak. Sekitar 1 dalam setiap 400 - 600 anak dan remaja memiliki DM tipe
1. Pada orang dewasa, DM tipe 1 merupakan sekitar 5% dari semua kasus diagnosis
diabetes.
International statistics
Secara internasional, angka kejadian DM tipe
1 semakin meningkat. Di Eropa, Timur Tengah dan Australia, angka kejadian dari
DM tipe 1 meningkat sekitar 2 – 5 % per tahunnya. Angka kejadian DM tipe 1
paling tinggi didapatkan di Scandinavia (± 20 % dari total penderita diabetes)
dan terendah terdapat di China dan jepang (lebih kecil dari 1 % dari total
pasien diabetes). Beberapa perbedaan ini mungkin berhubungan dengan definisi
dan kelengkapan pelaporan.
Demografi
terkait usia
Dulu, disebut sebagai diabetes
anak-anak, DM tipe 1 biasanya didiagnosis pada masa kanak-kanak, remaja, atau
dewasa awal. Meskipun onset DM tipe 1 sering terjadi pada awal kehidupan, 50%
pasien dengan onset baru DM tipe 1 didapatkan setelah 20 tahun.
DM tipe 1 biasanya diketahui pada
anak usia 4 tahun atau lebih, muncul cukup tiba-tiba, dengan kejadian puncak
onset pada usia 11-13 tahun (yaitu, pada awal masa remaja dan pubertas). Ada
juga kejadian yang relatif tinggi pada orang di usia 30-an dan awal 40-an, di mana
penyakit cenderung kurang agresif (yaitu, dengan hiperglikemia awal tanpa
ketoasidosis dan onset bertahap ketosis). Onset yang lebih lambat pada orang
dewasa dari DM tipe 1 ini disebut latent autoimmune diabetes of the adult
(LADA).
Risiko perkembangan antibodi (anti-pulau) di keluarga pasien dengan DM
tipe 1 menurun dengan bertambahnya usia. Temuan ini mendukung skrining tahunan
untuk antibodi dalam kerabat yang lebih muda dari 10 tahun dan 1 pemeriksaan
tambahan selama masa remaja.
Demografi menurut sex dan ras
DM tipe 1 lebih sering didapatkan pada pria dibandingkan pada wanita.
Pada populasi di Eropa, rasio pria : wanita adalah 1,5 : 1.
DM tipe 1 banyak didapatkan pada non – Hispanic kulit putih, diikuti oleh
African Americans dan Hispanic Americans. Jarang didapatkan pada orang Asia.
Prognosis
DM
tipe 1 dikaitkan dengan angka kesakitan yang tinggi dan angka kematian dini.
Lebih dari 60 % pasien dengan DM tipe 1 tidak menunjukkan komplikasi yang
serius untuk waktu yang lama, tetapi juga banyak di antaranya yang mengalami
kebutaan, gagal ginjal (End Stage Renal Disease) dan pada beberapa kasus,
kematian dini. Resiko dari ESRD dan proliferative retinopathy 2x lebih tinggi
pada pria dibandingkan pada wanita bila onset terjadinya diabetes sebelum usia
15 tahun.
Pasien dengan DM tipe 1
yang bertahan untuk waktu 10 – 20 tahun setelah onset awal tanpa komplikasi
yang berarti, mempunyai kemungkinan yang besar untuk mempertahankan
kesehatannya dengan baik. Faktor lain yang mempengaruhi adalah tingkat
pendidikan pasien, kewaspadaan, motivasi dan tingkat intelegensi. Pada tahun
2012, American Diabetes Association (ADA) membuat standart tentang pentingnya
perawatan untuk jangka panjang, manajemen koordinasi untuk dapat meningkatkan
hasil akhir yang baik dan mengusulkan perubahan struktur yang saat ini ada.
Angka kesakitan dan
kematian berhubungan dengan komplikasi jangka pendek maupun jangka panjang.
Komplikasi itu meliputi :
·
Hipoglikemia karena
manajemen yang salah
·
Meningkatnya resiko
infeksi
·
Komplikasi microvascular
(contoh : retinopati dan nefropati)
·
Komplikasi neuropatic
·
Komplikasi macrovascular
Komplikasi ini
mengakibatkan peningkatan risiko untuk penyakit jantung iskemik, penyakit
pembuluh darah otak, penyakit pembuluh darah perifer dengan gangren dari
tungkai bawah, penyakit ginjal kronis, mengurangi ketajaman penglihatan dan
kebutaan, dan otonom serta neuropati perifer. Diabetes adalah penyebab utama
kebutaan pada orang dewasa berusia 20-74 tahun, serta penyebab utama non – traumatic,
di amputasinya tungkai bawah dan ESRD (Gagal ginjal tahap akhir).
Pada pasien diabetes maupun
non-diabetes, disfungsi vasodilator koroner merupakan prediktor independen yang
kuat dari kematian akibat serangan jantung.
Pasien diabetes tipe 1
juga menunjukkan prevalensi yang besar untuk terkena neuropaty. Pada study
prospective, dari 27 pasien yang menderita diabetes tipe 1 selama 40 tahun, hamper
60 % pasien menunjukkan tanda dan gejala dari neuropaty, meliputi gangguan
sensorik – kesemutan (9 pasien), nyeri (3 pasien) dan carpal tunnel symptoms (5
pasien). Dari 27 pasien, 22 di antaranya didiagnosa dengan disfungsi saraf
kecil dengan menggunakan pemeriksaan kualitatif sensori.
Hasil abnormal pada intraepidermal
nerve-fiber density measurement (IENFD) terlihat pada 19 pasien. IENFD
berkorelasi negatif dengan HbA1c, tapi hubungan ini tidak lagi signifikan
setelah dilakukan penyesuaian dengan usia, indeks massa tubuh, dan tinggi. N-ε-
(karboksimetil) lysine (CML), yang terkait dengan neuropati diabetes yang
menyakitkan, tetap independen terkait dengan IENFD bahkan setelah penyesuaian
untuk variabel-variabel ini. Neuropathy pada saraf yang besar juga umum, yang
ditemukan pada 16 pasien.
Meskipun ESRD adalah
salah satu komplikasi yang paling parah dari DM tipe 1, insidennya relatif
rendah, yaitu 2,2% pada 20 tahun setelah diagnosis dan 7,8% pada 30 tahun
setelah diagnosis. Sebuah risiko yang lebih besar adalah bahwa nefropati
diabetik ringan pada DM tipe 1 tampak terkait dengan kemungkinan peningkatan
penyakit kardiovaskular. Selain itu, risiko jangka panjang dari tingkat gangguan
filtrasi glomerulus (GFR) lebih rendah pada orang yang diobati dengan terapi
insulin intensif di awal perjalanan penyakit daripada dengan yang diberikan
terapi konvensional.
Meskipun kematian dari
awal - awal DM tipe 1 (usia onset, 0 - 14 tahun) telah menurun, hal ini mungkin
tidak berlaku untuk DM tipe 1 yang muncul lebih setelahnya (usia onset, 15-29 tahun).
Satu studi menunjukkan bahwa wanita cenderung lebih beresiko pada study kohort
dan bahwa alkohol serta penggunaan narkoba akan meningkatkan angka kematian
hingga 1/3
Pengendalian glukosa
darah, hemoglobin A1c (HbA1c), lipid, tekanan darah, dan berat badan secara
signifikan mempengaruhi prognosis. Kelebihan berat badan dengan pengobatan
diabetes intensif berhubungan dengan hipertensi, resistensi insulin, dislipidemia
dan penyakit kardiovaskular aterosklerotik extetnsive.
Pasien dengan diabetes
menghadapi tantangan seumur hidup untuk mencapai dan mempertahankan kadar
glukosa darah berada dalam kisaran senormal mungkin. Dengan kontrol glikemik
yang tepat, risiko baik mikrovaskuler dan neuropati komplikasi menurun tajam.
Selain itu, pengobatan agresif hipertensi dan hiperlipidemia mengurangi risiko
komplikasi makrovaskuler.
Manfaat kontrol glikemik
dan pengendalian penyakit penyerta harus ditimbang terhadap risiko hipoglikemia
dan biaya jangka pendek menyediakan perawatan preventif berkualitas tinggi.
Namun, penelitian telah menunjukkan penghematan biaya karena pengurangan
komplikasi yang berhubungan dengan diabetes akut dalam waktu 1-3 tahun sejak dimulai
perawatan pencegahan yang efektif.
Pendidikan Pasien
Pendidikan
merupakan aspek penting dari manajemen diabetes. Pasien dengan onset baru DM
tipe 1 membutuhkan pendidikan yang luas untuk dapat mengelola penyakit mereka
dengan aman dan efektif serta untuk meminimalkan komplikasi jangka panjang.
Pendidikan tersebut sebaiknya dikoordinasikan jangka panjang dengan perawatan
pasien.
Pada
setiap pertemuan, klinisi harus mendidik pasien, dan dalam kasus anak-anak, proses
penyakit, manajemen, tujuan, dan komplikasi jangka panjang disampaikan pada orang
tua. Secara khusus, dokter harus melakukan hal berikut:
•
Membuat pasien menyadari tanda-tanda dan gejala hipoglikemia dan pengetahuan
tentang cara-cara untuk mengelolanya
•
Membantu pasien memahami dan mengetahui perjalanan penyakit diabetes (misalnya,
dengan mengajarkan pasien bahwa mereka memiliki kondisi kronis yang membutuhkan
modifikasi gaya hidup dan bahwa mereka cenderung memiliki komplikasi kronis
jika mereka tidak mengendalikan penyakit mereka)
•
Yakinkan pasien tentang prognosis bila DM tipe 1 dikelola dengan baik
ADA
mendesak bahwa perhatian harus ditujukan untuk pasien remaja yang lebih tua
yang mungkin meninggalkan rumah mereka dan penyedia layanan kesehatan mereka
saat ini. Pada transisi antara perawatan kesehatan anak dan dewasa, remaja yang
lebih tua dapat menjadi terpisah dari sistem perawatan kesehatan, sehingga perawatan
medis dan kontrol glikemik mereka menjadi beresiko. Pedoman mengidentifikasi
Program Diabetes Pendidikan Nasional (NDEP) sebagai sumber bahan yang dapat
membantu kelancaran transisi ke perawatan kesehatan dewasa.
Pendidikan
tentang rencana pengobatan yang tepat dan dorongan untuk mengikuti rencana,
sangat penting pada pasien dengan diabetes. Dokter harus memastikan bahwa
perawatan untuk setiap pasien dengan diabetes meliputi semua tes yang
diperlukan berupa laboratorium, pemeriksaan (misalnya, kaki dan pemeriksaan
neurologis), dan rujukan ke spesialis (misalnya, dokter mata atau ahli penyakit
kaki).
No comments:
Post a Comment