Friday, September 25, 2015

Diabetes Mellitus Tipe 1


Beberapa saat yang lalu, saya sempat berbincang – bincang dengan pasien DM tipe 1, saat ini dia berusia 12 tahun. Seorang anak yang pintar, dia bisa bercerita tentang perjalanan hingga didiagnosa penyakitnya dan pengobatan apa saja yang saat ini rutin dilakukan, yaitu suntik insulin kerja panjang 1x per hari dan suntin insulin kerja cepat 3x sehari sebelum makan. Dia terbiasa untuk melakukan pemeriksaan gula darahnya sendiri. Dia bercerita, penyakitnya itu diketahui saat dia berusia 5 tahun, saat tiba – tiba pingsan dan akhirnya koma serta dirawat di ICU selama 1 minggu. Sejak usia 5 tahun itu juga hingga saat ini, dia rutin suntik sendiri insulin. Karena itu, pada kesempatan ini, saya coba uraikan mengenai Diabetes Mellitus tipe 1 yang saya rangkum dari http://www.medscape.com.
Diabetes mellitus tipe 1 adalah penyakit kronik yang timbul karena ketidakmampuan tubuh untuk memproduksi insulin. Hal ini disebabkan autoimmune destruction atau proses kerusakan oleh sebab autoimmune dari sel beta pancreas. DM tipe 1 paling sering muncul saat usia anak – anak, tetapi, penyakit ini juga dapat ditemukan pertama kali saat usia akhir 30 an dan awal usia 40 an.

Tanda dan gejala :
Gejala klasik dari DM tipe 1 adalah :
1.    Poliuria                        : sering kencing
2.    Polidipsia         : sering merasa haus
3.    Polifagia          : sering merasa lapar
4.    Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
Gejala lainnya meliputi rasa lelah, mual dan pandangan kabur. Timbulnya gejala ini dapat secara tiba – tiba . DM tipe 1 juga sering didapatkan dalam keadaan sudah timbul komplikasi yang disebut KAD / Keto Asidosis Diabetik, jadi pasien didapatkan dalam keadaan tidak sadar atau mungkin juga koma.

Diagnosis
Kriteria diagnosis dari ADA (American Diabetes Association) :
1.    Gula puasa                  : ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L)
2.    Gula 2 jam puasa        : ≥200 mg/dL (11.1 mmol/L) dengan tes toleransi glukosa menggunakan
 75 gram glukosa dalam 15 menit
3.    Glukosa darah acak   :  ≥200 mg/dL (11.1 mmol/L) pada pasien dengan gejala klasik diabetes
Hiperglikemia atau hiperglikemia krisis.

Tes Glukosa darah acak melalui penusukan jari, dapat digunakan pada semua penderita diabetes, tetapi, tes ini harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan darah melalui serum atau plasma untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan laboratorium yang lain juga harus dilakukan dengan menyesuaikan kondisi dari pasien. Pemeriksaan HbA1c biasanya juga dilakukan pada pasien yang dicurigai, tetapi tidak menunjukkan gejala klasik diabetes.




Screening
Screening untuk mengetahui diabetes tipe 1 pada pasien yang tidak menunjukkan gejala atau pada individu yang beresiko rendah tidak disarankan. Tetapi, pada pasien dengan resiko tinggi (mereka – mereka yang mempunyai orang tua dengan DM tipe 1) dapat dilakukan, untuk mendeteksi adanya anti – islet antibodies, dan pemeriksaan ini dilakukan sebelum usia 10 tahun dan diulang lagi ketika menginjak usia dewasa.

Managemen
Kontrol Glukosa
Rekomendasi ADA, menggunakan usia pasien sebagai pertimbangan untuk mencapai target control glukosa, dengan target yang berbeda untuk preprandial (sebelum makan), wakti tidur malam dan kadar hemoglobin A1c (HbA1c) pada pasien dengan usia 0 - 6, 6 - 12, dan 13 - 19 tahun. Manfaat dari kontrol gula darah yang baik meliputi pengurangan  resiko komplikasi mikrovaskular maupun makrovaskular yang meliputi serangan jantung dan kematian.

Monitor gula mandiri
Kontrol yang optimal terhadap diabetes, memerlukan monitoring yang sering dari kadar gula darah, yang mana memungkinkan penyesuaian yang rasional dari kadar insulin. Semua pasien dengan diabetes tipe 1, harus belajar untuk memeriksa kadar gula darahnya sendiri dan mencatatnya secara teratur.
Monitoring terus menerus dari kadar gula dengan menggunakan continuous glucose monitors (CGMs) dapat membantu pasien untuk meningkatkan control yang baik dari kadar gulanya. Pada CGMs , terdapat sensor subcutaneous yang mengukur gula setiap 1 – 5 menit dan meyediakan alarm yang memberi tanda bila kadar gula terlalu tinggi, terlalu rendah, atau meningkat dan menurun secara cepat.



Terapi insulin
Pada pasien dengan diabetes tipe 1, memerlukan terapi insulin seumur hidupnya. Pada umumnya memerlukan 2 atau lebih suntikan insulin setiap harinya dengan dosis yang disesuaikan berdasarkan kadar gula darahnya. Insulin terapi ini berupa insulin basal dan insulin preprandial (sebelum makan). Kadar insulin basal dapat berupa insulin kerja panjang (glargine atau detemir) atau insulin kerja menengah (NPH). Insulin preprandial (sebelum makan) meliputi insulin kerja cepat (lispro, aspart, insulin inhaled, atau glulisine) atau insulin kerja pendek short-acting (regular).
Peresepan insulin yang umum meliputi :
1.    NPH dengan insulin kerja cepat atau insulin kerja pendek sebelum sarapan dan makan malam
2.    NPH dengan insulin kerja cepat atau insulin kerja pendek sebelum sarapan, insulin kerja cepat atau insulin kerja pendek sebelum makan malam dan NPH sebelum tidur malam (kombinasi seperti ini bertujuan untuk mengurangi glukosa saat puasa yang diberikan saat malam)
3.    Insulin kerja panjang 1x sehari saat pagi atau malam (atau 2x sehari pada 20 % pasien) dan insulin kerja cepat sebelum makan atau snack (dengan dosis yang disesuaikan berdasarkan asupan karbohidrat dan kadar glukosa darah.
4.    Continuous subcutaneous insulin infusion (CSII), berupa insulin kerja cepat yang diinfuskan secara terus menerus dalam 24 jam sehari melalui pompa insulin dengan tambahan insulin bolus yang diberikan sebelum makan dan dosis koreksi dapat diberikan bila kadar glukosa darah melebihi dari target

Diet dan aktivitas
Semua pasien yang menggunakan insulin harus mempunyai rencana diet yang baik yang dapat dibantu oleh ahli nutrisi. Hal yang harus diperhatikan :
1.    Jumlah asupan kalori per hari
2.    Jumlah asupan karbohidrat, lemak dan protein
3.    Cara membagi asupan kalori antara makan dan snack.
Olah raga juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam managemen pasien diabetes. Pasien harus berolah raga secara rutin.




Latar Belakang
Diabetes Mellitus tipe 1 merupakan penyakit multi system yang melibatkan biokimia dan konsekuensi anatomis / struktur tubuh. Merupakan penyakit kronis yang mempengaruhi metabolism karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan karena berkurangnya insulin. Hal ini merupakan akibat lanjut dari gagalnya pancreas dalam memproduksi insulin yang dikarenakan perusakan dari sel beta pancreas.
DM tipe 1 dapat terjadi pada semua usia, meskipun angka kejadian yang umum adalah pada usia anak – anak. DM tipe 1 ini juga dapat muncul pada usia dewasa, khususnya pada akhir usia 30 an dan awal usia 40 an.
Tidak seperti DM tipe 2, pasien dengan DM tipe 1, tidak gemuk dan biasanya diketahui bersamaan dengan terjadinya komplikasi KAD / Keto Asidosis Diabetic (pasien tidak sadar - koma). Hal yang khusus pada DM tipe 1 adalah, bila insulin menurun, ketosis akan terjadi dan pada akhirnya akan timbul Keto Asisdosis. Karena itu, pasien dengan DM tipe 1 bergantung pada insulin dari luar.
DM tipe 1 memerlukan  insulin seumur hidupnya. Pendekatan multidisiplin oleh dokter, perawat, ahli gizi dengan konsultasi rutin dengan dokter spesialis sangatlah diperlukan untuk dapat mengontrol kadar gulanya, yang pada akhirnya dapat mencegah terjadinya komplikasi berbahaya yang dapat terjadi.

 

Patofisiologi
DM tipe 1 adalah puncak dari infiltrasi limfosit dan perusakan beta sel pancreas yang memproduksi insulin. Saat masa sel beta pancreas menurun, penurunan insulin berkurang juga sampai suatu titik di mana tidak terdapat lagi insulin yang cukup untuk mempertahankan kadar gula darah yang normal. Setelah 80 – 90 % sel beta pancreas rusak, hiperglikemia akan timbul dan diagnose diabetes dapat ditegakkan. Pasien memerlukan insulin dari luar untuk memperbaiki kondisi ini, mencegah ketosis dan menurunkan hiperglucagonemia serta menormalkan metobolisme lemak dan protein.
Saat ini, proses autoimmune dianggap sebagai factor utama pada patofisiologi dari DM tipe 1. Pada individu yang secara genetic rentan, adanya infeksi virus dapat menstimulasi produksi dari antibody untuk melawan protein dari virus dan antibiodi ini juga dapat memicu respon autoimmune terhadap antigen yang mirip dengan molekul sel beta (Sel beta pancreas adalah sel yang memproduksi insulin)
Sekitar 85 % pasien dengan DM tipe 1 memiliki antibody terhadap sel islet di dalam darahnya dan secara umum juga dapat dideteksi anti-insulin antibody sebelum mendapat terapi insulin. Antibodi terhadap sel islet yang paling banyak ditemukan adalah antibody terhadap Glutamic Acid Decarboxylase (GAD), suatu enzyme yang ditemukan di dalam sel beta pancreas.
Prevalensi dari DM tipe 1 meningkat pada pasien dengan penyakit autoimmune lainnya, seperti Graves disease, Hashimoto thyroiditis dan Addison disease. Pilia dan rekan menemukan prevalensi yang tinggi dari antibody terhadap sel islet (IA2) dan antibody terhadap GAD pada pasien dengan autoimmune thyroiditis.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Philippe menggunakan CT – scan, Glucagon stimulation test results dan Fecal elastase – 1 measurement mendapatkan berkurangnya volume pancreas pada pasien dengan DM. Penemuan ini didapatkan baik pada DM tipe 1 maupun DM tipe 2, serta dapat juga menjelaskan disfungsi dari kelenjar exocrine yang terjadi pada pasien DM.
Polymorphisme dari Human Leukocyte Antigen (HLA) class II gen yang mengkode DR dan DQ adalah determinan genetic utama dari DM tipe 1. Sekitar 95 % pasien dengan DM tipe 1 mempunyai HLA – DR 3 atau HLA DR4. Heterozygote dari haplotype mempunyai resiko terkena DM lebih tinggi dari homozygote. HLA – DQ juga dipertimbangkan sebagai penanda yang spesifik terhadap kerentanan pasien untuk terkena DM tipe 1. Sebaliknya, beberapa haplotype (contoh HLA – DR2) memberikan perlindungan yang kuat terhadap DM tipe 1.

Neuropathy sensorik dan autonomic
Neuropathy sensorik dan autonomic pada pasien dengan diabetes, disebabkan oleh degenerasi axon dan segmental demyelination. Banyak factor terlibat, termasuk akumulasi dari sorbitol pada sensorik saraf tepi akibat dari hiperglikemia.  Motor neuropathy dan cranial mononeuropathy dapat terjadi sebagai akibat gangguan pembuluh darah yang menyuplai saraf.

 

Angiopathy (Komplikasi pada pembuluh darah)

Dengan menggunakan video capillaroscopy, Barchetta dan rekan mendeteksi adanya prevalensi yang tinggi untuk terjadi perubahan pada pembuluh darah kapiler pasien diabete, khususnya pada pasien dengan kerusakan retina. Hal ini mencerminkan perubahan pada pembuluh darah kecil yang terjadi baik pada DM tipe 1 maupun DM tipe 2.
Perubahan pada pembuluh darah mikro memnyebabkan sejumlah komplikasi pada penderita diabetes. Hyaline arteriosclerosis, yang ditandai dengan penebalan dinding dan arteriole kecil dan kapiler, terjadi secara luas dan bertanggung jawab pada perubahan iskemia (perburukan sirkulasi darah) di ginjal, retina, otak dan saraf tepi.
Atherosclerosis pada arteri utama ginjal dan cabang intrarenal / pembuluh darah di dalam ginjal, menyebabkan Chronic Nephron Ishcemia, yang secara signifikan menyebabkan kerusakan pada ginjal.
Defisiensi dari Vitamin D merupakan factor predictor independent terhadap pembentukan kalsifikasi di arteri coroner pada pasien dengan DM tipe 1. Joergensen dan rekan berkeyakinan bahwa adanya kekurangan vitamin D pada DM tipe 1 dapat memprediksi semua penyebab kematian tetapi tidak terhadap perkembangan komplikasi microvaskular.

 

Nephropathy (komplikasi pada ginjal)

 

Pada ginjal, penebalan dari dinding arteri kecil dan kapiler, menyebabkan terjadinya diabetic nephropathy yang ditandai dengan adanya proterinuria (ada protein di dalam urine – kencing berbuih), glomerular hyalinization (Kimmelstiel – Wilson) dan gagal ginjal kronis.

Ekspresi dari sitokin seperti tumor growth factor beta 1 adalah bagian dari patofisiologi terjadinya glomerulosklerosis, yang mengawali terjadinya nefropati diabetik.

Faktor genetik mempengaruhi perkembangan nefropati diabetik. Polimorfisme nukleotida tunggal yang mempengaruhi faktor-faktor yang terlibat dalam patogenesis sepertinya mempengaruhi risiko nefropati diabetes pada orang yang berbeda dengan tipe 1 DM.

 

Double Diabetes
Pada daerah dengan angka kejadian DM tipe 2 dan angka kegemukan yang tinggi, individu dengan DM tipe 1 dapat berbagi factor genetic dan factor lingkungan yang dapat menimbulkan gejala dari DM tipe 2 seperti berkurangnya sensitifitas terhadap insulin. Hal ini dikenal dengan double diabetes.
Pada penelitian yang melibatkan 207 pasien dengan DM tipe 1, Epstein dan rekan menggunakan estimated glucose disposal rate (eGDR) untuk menilai insulin resisten dan menemukan bahwa eGDR secara signifikan didapatkan cukup rendah (hal ini berarti, resistensi terhadap insulin yang tinggi) pada pasien berkulit hitam (5.66 mg/kg/min) dibandingkan dengan pasien ras Hispanis (6.70 mg/kg/min) atau pada pasien kulit putih (7.20 mg/kg/min). Sebagai kesimpulam, rendahnya eGDR dikaitkan dengan peningkatan resiko komplikasi vascular / pembuluh darah pada pasien dengan diabetes (contoh penyakit cardiovascular, diabetic retinopathy atau gagal ginjal kronis yang parah)

Penyebab
DM Tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel beta pancreas melalui proses autoimmune dan melibatkan baik factor genetic maupun factor lingkungan
Faktor Genetik
Meskipun aspek genetic dari DM tipe 1 itu kompleks, dengan banyaknya gen yang terlibat, ada resiko yang cukup tinggi pada saudara kandung. Pada kembar 2 telur / dizygotic, memiliki angka kejadian 5 – 6 % untuk terkena DM tipe 1, kembar 1 telur / monozygotic memiliki angka kejadian hingga lebih dari 50 % untuk terkena DM tipe 1 saat usia 40 tahun.

Untuk anak yang memiliki orang tua dengan DM tipe 1, risiko terkena DM tipe 1, bervariasi, tergantung ayah atau ibunya yang memiliki DM tipe 1. Anak-anak yang ibunya terkena tipe 1 DM memiliki risiko 2-3% terserang penyakit itu, sedangkan mereka yang ayahnya memiliki penyakit DM tipe 1, memiliki risiko 5-6%. Ketika kedua orang tua penderita menderita DM tipe 1, risiko anak untuk terkena meningkat hampir 30%. Selain itu, risiko untuk anak-anak dari orang tua dengan DM tipe 1 adalah sedikit lebih tinggi jika timbulnya penyakit pada orang tuanya terjadi sebelum usia 11 tahun dan sedikit lebih rendah jika onset terjadi setelah usia 11 tahun orang tuanya.

Kontribusi genetik untuk DM tipe 1 ini juga tercermin dalam varian yang signifikan dalam frekuensi penyakit di antara populasi etnis yang berbeda. DM tipe 1 paling umum terjadi pada populasi Eropa, dengan orang-orang dari Eropa utara lebih sering terkena daripada orang-orang dari daerah Mediterania. Penyakit ini juga lazim didapatkan di Asia Timur.

Studi pengelompokan genome telah mengidentifikasi beberapa lokus yang berkaitan dengan DM tipe 1, tetapi hanya sedikit hubungan sebab akibat yang telah ditetapkan. Wilayah genomik yang paling kuat sangat terkait dengan penyakit autoimun lainnya, kompleks histocompatibility utama (MHC), adalah lokasi beberapa kerentanan lokus untuk tipe 1 DM-khususnya, kelas II HLA DR dan haplotype DQ.
Sebuah hirarki haplotipe DR-DQ dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk DM tipe 1 telah ditetapkan. Haplotipe yang paling rentan adalah sebagai berikut
·         DRB1*0301 - DQA1*0501 - DQB1*0201 (odds ratio [OR] 3.64)
·         DRB1*0405 - DQA1*0301 - DQB1*0302 (OR 11.37)
·         DRB1*0401 - DQA1*0301 - DQB*0302 (OR 8.39)
·         DRB1*0402 - DQA1*0301 - DQB1*0302 (OR 3.63)
·         DRB1*0404 - DQA1*0301 - DQB1*0302 (OR 1.59)
·         DRB1*0801 - DQB1*0401 - DQB1*0402 (OR 1.25)
·          
Haplotype lain ternyata memberikan perlindungan terhadap DM tipe 1, sebagai berikut :
·         DRB1*1501 - DQA1*0102 - DQB1*0602 (OR 0.03)
·         DRB1*1401 - DQA1*0101 - DQB1*0503 (OR 0.02)
·         DRB1*0701 - DQA1*0201 - DQB1*0303 (OR 0.02)

90 – 95 % pada anak dengan DM tipe 1 membawa HLA-DR3 DQB1*0201, HLA-DR4 DQB1*0302, atau keduanya. Pembawa kedua haplotypes (ie, DR3/4 heterozygotes) mempunyai kerentanan yang tinggi untuk terkena DM tipe 1.
Resiko tinggi haplotypes banyak ditemukan pada orang keturunan Eropa. Pada orang dari ras African Americans, DRB1*07:01 - DQA1*03:01 -DQB1*02:01g haplotype terkait dengan tingginya resiko untuk terkena, sedangkan DRB1*07:01-DQA1*02:01 - DQB1*02:01g haplotype tampaknya melindungi.
Gen lain yang dilaporkan terlibat dalam mekanisme terjadinya DM tipe 1 adalah CTLA4 (penting untuk aktivasi T-cell), PTPN22 (memproduksi LYP, suatu negative regulator dari T-cell kinase signaling), dan IL2RA (mengkode CD25 yang mana terlibat dalam regulasi fungsi T-cell). UBASH3A (juga dikenal dengan STS2), mungkin terlibat pada peningkatan resiko, bukan hanya pada DM tipe 1, tetapi juga penyakit autoimmune lainnya dan down syndrome, ada pada locus chromosome 21q22.3.
Sebagai tambahan, penelitian terhadap genome mempengaruhi penelitian terhadap gen lainnya, seperti:
·         SH2B3
·         ERBB3
·         CLEC16A
·         IL18RAP
·         PTPN2
·         CCR5


Faktor Lingkungan

Faktor luar juga berkontribusi terhadap timbulnya DM tipe 1. Pemicu potensial yang secara immunologis memperantarai rusaknya sel beta meliputi virus (contoh enterovirus, mumps, rubella, dan coxsackievirus B4), bahan kimia beracun, paparan dengan susu sapi saat masih bayi, dan sitotoksin.

Kombinasi dari beberapa factor dapat terjadi. Lempainen dan rekan menemukan bahwa adanya infeksi enterovirus saat usia 12 bulan, dikaitkan dengan munculnya DM tipe 1 – terkait autoimmune di antara anak – anak yang terpapar dengan susu sapi sebelum usia 3 bulan. Hasil ini menunjukkan interaksi antara 2 faktor dan memberikan penjelasan yang mungkin untuk temuan yang kontradiktif yang diperoleh dalam penelitian yang meneliti faktor-faktor ini secara terpisah.
Satu meta-analisis menemukan peningkatan linear lemah tapi signifikan pada risiko terjadinya DM tipe 1 dengan meningkatnya usia ibu saat kehamilan. Namun, sedikit bukti yang mendukung peningkatan substansial terhadap risiko DM tipe 1 saat anak – anak setelah terjadi komplikasi kehamilan yang dikenal sebagai preeklamsia.
Sebuah studi oleh Simpson et al menemukan bahwa asupan vitamin D maupun 25-hydroxyvitamin D selama masa anak – anak, dikaitkan dengan autoimunitas terhadap sel islet yang dapat berkembang menjadi DM tipe 1. Penelitian ini dilakukan di Denver, Colorado, dan telah mendapati anak - anak mengalami peningkatan risiko diabetes sejak tahun 1993.
Infeksi saluran pernapasan atas saat bayi juga dapat menjadi faktor risiko untuk diabetes tipe 1. Dalam analisis data terhadap 148 anak - anak yang secara genetik beresiko untuk diabetes, infeksi saluran pernapasan atas pada tahun pertama kehidupan dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 1. Semua anak dalam studi yang mengembangkan autoimunitas terhadap sel islet, mengalami minimal 2 infeksi saluran pernapasan atas pada tahun pertama kehidupan dan setidaknya 1 infeksi dalam 6 bulan sebelum terjadi serokonversi menjadi autoantibodi.
Anak-anak dengan infeksi pernapasan dalam 6 bulan pertama kehidupan memiliki peningkatan rasio bahaya terbesar untuk terjadi serokonversi autoantibodi sel islet, dan risiko juga meningkat pada orang-orang dengan infeksi saluran pernafasan pada usia 6 sampai hampir 12 bulan. Tingkat serokonversi autoantibody sel islet adalah tertinggi di antara anak-anak dengan lebih dari 5 kali infeksi pernafasan pada tahun pertama kehidupan. Infeksi pernafasan pada tahun kedua kehidupan tidak berhubungan dengan peningkatan risiko.

 

Epidemiology

Statistik di Amerika Serikat

Sebuah laporan 2011 dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) memperkirakan bahwa sekitar 1 juta orang Amerika memiliki tipe 1 DM. CDC memperkirakan bahwa setiap tahun 2002 - 2005, DM tipe 1 yang baru didiagnosa mencapai 15.600 anak muda . Di antara anak-anak yang berusia kurang dari 10 tahun, tingkat terjadinya kasus baru adalah 19,7 per 100.000 penduduk; di antara mereka 10 tahun atau lebih tua, tingkat kejadiannya adalah 18,6 per 100.000 penduduk.

DM tipe 1 adalah penyakit metabolik yang paling umum pada masa kanak-kanak. Sekitar 1 dalam setiap 400 - 600 anak dan remaja memiliki DM tipe 1. Pada orang dewasa, DM tipe 1 merupakan sekitar 5% dari semua kasus diagnosis diabetes.

 

International statistics

Secara internasional, angka kejadian DM tipe 1 semakin meningkat. Di Eropa, Timur Tengah dan Australia, angka kejadian dari DM tipe 1 meningkat sekitar 2 – 5 % per tahunnya. Angka kejadian DM tipe 1 paling tinggi didapatkan di Scandinavia (± 20 % dari total penderita diabetes) dan terendah terdapat di China dan jepang (lebih kecil dari 1 % dari total pasien diabetes). Beberapa perbedaan ini mungkin berhubungan dengan definisi dan kelengkapan pelaporan.

Demografi terkait usia

Dulu, disebut sebagai diabetes anak-anak, DM tipe 1 biasanya didiagnosis pada masa kanak-kanak, remaja, atau dewasa awal. Meskipun onset DM tipe 1 sering terjadi pada awal kehidupan, 50% pasien dengan onset baru DM tipe 1 didapatkan setelah 20 tahun.

DM tipe 1 biasanya diketahui pada anak usia 4 tahun atau lebih, muncul cukup tiba-tiba, dengan kejadian puncak onset pada usia 11-13 tahun (yaitu, pada awal masa remaja dan pubertas). Ada juga kejadian yang relatif tinggi pada orang di usia 30-an dan awal 40-an, di mana penyakit cenderung kurang agresif (yaitu, dengan hiperglikemia awal tanpa ketoasidosis dan onset bertahap ketosis). Onset yang lebih lambat pada orang dewasa dari DM tipe 1 ini disebut latent autoimmune diabetes of the adult (LADA).

Risiko perkembangan antibodi (anti-pulau) di keluarga pasien dengan DM tipe 1 menurun dengan bertambahnya usia. Temuan ini mendukung skrining tahunan untuk antibodi dalam kerabat yang lebih muda dari 10 tahun dan 1 pemeriksaan tambahan selama masa remaja.

 

Demografi menurut sex dan ras

DM tipe 1 lebih sering didapatkan pada pria dibandingkan pada wanita. Pada populasi di Eropa, rasio pria : wanita adalah 1,5 : 1.

 

DM tipe 1 banyak didapatkan pada non – Hispanic kulit putih, diikuti oleh African Americans dan Hispanic Americans. Jarang didapatkan pada orang Asia.

 

Prognosis
DM tipe 1 dikaitkan dengan angka kesakitan yang tinggi dan angka kematian dini. Lebih dari 60 % pasien dengan DM tipe 1 tidak menunjukkan komplikasi yang serius untuk waktu yang lama, tetapi juga banyak di antaranya yang mengalami kebutaan, gagal ginjal (End Stage Renal Disease) dan pada beberapa kasus, kematian dini. Resiko dari ESRD dan proliferative retinopathy 2x lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita bila onset terjadinya diabetes sebelum usia 15 tahun.
Pasien dengan DM tipe 1 yang bertahan untuk waktu 10 – 20 tahun setelah onset awal tanpa komplikasi yang berarti, mempunyai kemungkinan yang besar untuk mempertahankan kesehatannya dengan baik. Faktor lain yang mempengaruhi adalah tingkat pendidikan pasien, kewaspadaan, motivasi dan tingkat intelegensi. Pada tahun 2012, American Diabetes Association (ADA) membuat standart tentang pentingnya perawatan untuk jangka panjang, manajemen koordinasi untuk dapat meningkatkan hasil akhir yang baik dan mengusulkan perubahan struktur yang saat ini ada.
Angka kesakitan dan kematian berhubungan dengan komplikasi jangka pendek maupun jangka panjang. Komplikasi itu meliputi :
·         Hipoglikemia karena manajemen yang salah
·         Meningkatnya resiko infeksi
·         Komplikasi microvascular (contoh : retinopati dan nefropati)
·         Komplikasi neuropatic
·         Komplikasi macrovascular
Komplikasi ini mengakibatkan peningkatan risiko untuk penyakit jantung iskemik, penyakit pembuluh darah otak, penyakit pembuluh darah perifer dengan gangren dari tungkai bawah, penyakit ginjal kronis, mengurangi ketajaman penglihatan dan kebutaan, dan otonom serta neuropati perifer. Diabetes adalah penyebab utama kebutaan pada orang dewasa berusia 20-74 tahun, serta penyebab utama non – traumatic, di amputasinya tungkai bawah dan ESRD (Gagal ginjal tahap akhir).
Pada pasien diabetes maupun non-diabetes, disfungsi vasodilator koroner merupakan prediktor independen yang kuat dari kematian akibat serangan jantung.
Pasien diabetes tipe 1 juga menunjukkan prevalensi yang besar untuk terkena neuropaty. Pada study prospective, dari 27 pasien yang menderita diabetes tipe 1 selama 40 tahun, hamper 60 % pasien menunjukkan tanda dan gejala dari neuropaty, meliputi gangguan sensorik – kesemutan (9 pasien), nyeri (3 pasien) dan carpal tunnel symptoms (5 pasien). Dari 27 pasien, 22 di antaranya didiagnosa dengan disfungsi saraf kecil dengan menggunakan pemeriksaan kualitatif sensori.
Hasil abnormal pada intraepidermal nerve-fiber density measurement (IENFD) terlihat pada 19 pasien. IENFD berkorelasi negatif dengan HbA1c, tapi hubungan ini tidak lagi signifikan setelah dilakukan penyesuaian dengan usia, indeks massa tubuh, dan tinggi. N-ε- (karboksimetil) lysine (CML), yang terkait dengan neuropati diabetes yang menyakitkan, tetap independen terkait dengan IENFD bahkan setelah penyesuaian untuk variabel-variabel ini. Neuropathy pada saraf yang besar juga umum, yang ditemukan pada 16 pasien.
Meskipun ESRD adalah salah satu komplikasi yang paling parah dari DM tipe 1, insidennya relatif rendah, yaitu 2,2% pada 20 tahun setelah diagnosis dan 7,8% pada 30 tahun setelah diagnosis. Sebuah risiko yang lebih besar adalah bahwa nefropati diabetik ringan pada DM tipe 1 tampak terkait dengan kemungkinan peningkatan penyakit kardiovaskular. Selain itu, risiko jangka panjang dari tingkat gangguan filtrasi glomerulus (GFR) lebih rendah pada orang yang diobati dengan terapi insulin intensif di awal perjalanan penyakit daripada dengan yang diberikan terapi konvensional.
Meskipun kematian dari awal - awal DM tipe 1 (usia onset, 0 - 14 tahun) telah menurun, hal ini mungkin tidak berlaku untuk DM tipe 1 yang muncul lebih setelahnya (usia onset, 15-29 tahun). Satu studi menunjukkan bahwa wanita cenderung lebih beresiko pada study kohort dan bahwa alkohol serta penggunaan narkoba akan meningkatkan angka kematian hingga 1/3
Pengendalian glukosa darah, hemoglobin A1c (HbA1c), lipid, tekanan darah, dan berat badan secara signifikan mempengaruhi prognosis. Kelebihan berat badan dengan pengobatan diabetes intensif berhubungan dengan hipertensi, resistensi insulin, dislipidemia dan penyakit kardiovaskular aterosklerotik extetnsive.
Pasien dengan diabetes menghadapi tantangan seumur hidup untuk mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah berada dalam kisaran senormal mungkin. Dengan kontrol glikemik yang tepat, risiko baik mikrovaskuler dan neuropati komplikasi menurun tajam. Selain itu, pengobatan agresif hipertensi dan hiperlipidemia mengurangi risiko komplikasi makrovaskuler.
Manfaat kontrol glikemik dan pengendalian penyakit penyerta harus ditimbang terhadap risiko hipoglikemia dan biaya jangka pendek menyediakan perawatan preventif berkualitas tinggi. Namun, penelitian telah menunjukkan penghematan biaya karena pengurangan komplikasi yang berhubungan dengan diabetes akut dalam waktu 1-3 tahun sejak dimulai perawatan pencegahan yang efektif.

Pendidikan Pasien
Pendidikan merupakan aspek penting dari manajemen diabetes. Pasien dengan onset baru DM tipe 1 membutuhkan pendidikan yang luas untuk dapat mengelola penyakit mereka dengan aman dan efektif serta untuk meminimalkan komplikasi jangka panjang. Pendidikan tersebut sebaiknya dikoordinasikan jangka panjang dengan perawatan pasien.
Pada setiap pertemuan, klinisi harus mendidik pasien, dan dalam kasus anak-anak, proses penyakit, manajemen, tujuan, dan komplikasi jangka panjang disampaikan pada orang tua. Secara khusus, dokter harus melakukan hal berikut:
• Membuat pasien menyadari tanda-tanda dan gejala hipoglikemia dan pengetahuan tentang cara-cara untuk mengelolanya
• Membantu pasien memahami dan mengetahui perjalanan penyakit diabetes (misalnya, dengan mengajarkan pasien bahwa mereka memiliki kondisi kronis yang membutuhkan modifikasi gaya hidup dan bahwa mereka cenderung memiliki komplikasi kronis jika mereka tidak mengendalikan penyakit mereka)
• Yakinkan pasien tentang prognosis bila DM tipe 1 dikelola dengan baik

ADA mendesak bahwa perhatian harus ditujukan untuk pasien remaja yang lebih tua yang mungkin meninggalkan rumah mereka dan penyedia layanan kesehatan mereka saat ini. Pada transisi antara perawatan kesehatan anak dan dewasa, remaja yang lebih tua dapat menjadi terpisah dari sistem perawatan kesehatan, sehingga perawatan medis dan kontrol glikemik mereka menjadi beresiko. Pedoman mengidentifikasi Program Diabetes Pendidikan Nasional (NDEP) sebagai sumber bahan yang dapat membantu kelancaran transisi ke perawatan kesehatan dewasa.
Pendidikan tentang rencana pengobatan yang tepat dan dorongan untuk mengikuti rencana, sangat penting pada pasien dengan diabetes. Dokter harus memastikan bahwa perawatan untuk setiap pasien dengan diabetes meliputi semua tes yang diperlukan berupa laboratorium, pemeriksaan (misalnya, kaki dan pemeriksaan neurologis), dan rujukan ke spesialis (misalnya, dokter mata atau ahli penyakit kaki).

Seorang ahli diet harus menyediakan pendidikan spesifik untuk kontrol diet pasien dan keluarga. Seorang perawat harus mendidik pasien tentang cara injeksi sendiri insulin dan melakukan tes fingerstick untuk pemantauan kadar glukosa darah.